YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Stigma buruk tentang agama orang lain
seringkali menghinggapi pemikiran seseorang. Perseteruan Yahudi dengan
Islam menjadi contoh nyata kasus yang hingga hari ini masih jamak
diperbincangkan. Islam menganggap Yahudi sebagai pihak yang menjadi
musuh. Hal yang sama berlaku pula bagi Yahudi yang menganggap Islam
pantas untuk dibinasakan dengan alasan teroris.
Perseteruan Yahudi vs Islam ini terus menerus diturunkan dari
generasi ke generasi. Bibit kebencian diajarkan, padahal belum tentu
benar adanya. Pertanyaannya, apakah kebencian ini akan terus tersemai di
otak generasi muda, ataukah kita sudah jengah dan berfikir untuk
mencari solusi damai di tengah persoalan dua agama besar di dunia ini?
Perdebatan seputar Yahudi-Islam ini kemudian coba diangkat dalam
sebuah diskusi terbuka yang berjudul “Mencari Titik Temu Yahudi-Islam”.
Diskusi yang digelar pada Kamis (13/11) di Ruang Audiorium Gedung
Purbatjaraka, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Gajah Mada (UGM)
ini menghadirkan dua pembicara, yaitu Rabi Marc Schneier (President The
Foundation for Ethnic Understanding) dan Imam Shamsi Ali (Imam Jamaica
Muslim Centre , New York). Diskusi ini dimoderatori oleh Prof. Dr. Irwan
Abdullah.
Imam Shamsi Ali sebagai pembicara pertama menuturkan bahwa perubahan
pola pikir tentang agama yang dialaminya bermula dari sebuah kebaikan
yang dilakukan oleh tetangganya di New York, yang kebetulan memeluk
agama Kristen. Kebaikan sang tetangga yang merupakan pasangan
suami-istri ditunjukkan dengan hal yang sangat sederhana, yaitu setiap
hari menyapu halaman rumah Imam Shamsi.
Perilaku yang saban hari dilakukan oleh sang tetangga memantik
pertanyaan sang Imam, terlebih lagi di Amerika perbedaan agama menjadi
hal yang sangat sensitif, terutama usai peristiwa 11 September 2011.
Ketika hal ini ditanyakan oleh suami-istri tersebut, mereka tidak
mempermasalahkan tentang keyakinan. Menurut suami-istri tersebut, mereka
tetap memegang teguh ajaran agamanya, sembari menebarkan kebaikan bagi
orang-orang di sekelilingnya.
“Orang ini mengubah cara pandang saya tentang ‘orang luar’. Tentang
orang-orang yang bukan berasal dari agama saya. Saya sadar, ternyata
beragama itu bukan hanya sekadar simbol. Beragama itu soal
bermasyarakat,” tutur Imam Shamsi Ali.
Berawal dari kesadaran tersebut, Imam Shamsi selanjutnya mencoba
untuk menggali lebih jauh seputar agama-agama lain. Dari situlah, Imam
Shamsi menemukan bahwa selama ini munculnya anggapan-anggapan negatif
tentang agama lain disebabkan karena ketidaktahuan, kebodohan dalam
membaca sejarah, dan faktor kesimpulan prematur tentang agama lain, yang
bahkan kita tidak mengetahui secara pasti tentang agama yang dikatakan
negatif tersebut.
“Ketika saya diminta untuk tampil sebagai narasumber di stasiun
televisi NBS, saya bersalaman dengan seorang Rabi. Saat bersalaman, Rabi
itu tidak mau memandang muka saya. Saya bertanya, kenapa anda tidak mau
menatap saya? Rabi itu menjawab, saya benci orang Islam. Siapa Rabi
itu? Orang itu yang sekarang duduk di samping saya ini (Rabi Marc
Schneier – Red). Dulu dia sangat benci Islam. Sekarang dengan debat dan
diskusi panjang seputar agama, kami bisa akur bersama dan menyimpulkan
bahwa mainset orang-orang tentang cara pandang terhadap agama
orang lain, ternyata ada yang salah. Ada yang harus dibenarkan karena
kebanyakan mereka tidak paham benar tentang agama orang lain tersebut,
melainkan telah terlanjur terkontaminasi (doktrin) dengan hal-hal buruk
seputar agama orang lain,” cerita Imam Shamsi.
Tentang kesalahpahaman tersebut, Imam Shamsi menurutkan bahwa dirinya
pernah menawarkan kepada komunitas Islam di New York untuk sesekali
waktu pergi ke Sinagoge orang Yahudi. Kontan saja, ajakan Imam Shamsi
ditolak dengan nada tinggi oleh orang-orang Muslim di New York. Menurut
orang-orang Muslim ini, Yahudi tentu tidak akan membuka pintu bagi
Muslim karena orang Yahudi merasa sebagai “The Choosen One” (orang-orang
terpilih).
“Kalau mereka (Yahudi) merasa sebagai ‘The Choosen One’, dalam Al
Qur’an Surat Ali Imran ayat 100 disebutkan bahwa orang Islam merupakan
‘umat terbaik’. Jadi, sebagai umat terpilih seharusnya bisa jadi satu
dengan umat terbaik,’ seloroh Imam Shamsi.
Ketika alasan tersebut disampaikan oleh umat Muslim di New York dan
saat umat Muslim benar-benar datang ke Sinagoge, ternyata orang-orang
Yahudi menyambut dengan sangat hangat. Bahkan, menurut Imam Shamsi,
orang-orang Yahudi seakan-akan menganggap umat Muslim sebagai saudara
sekandung.
Hal yang sama juga dituturkan oleh Imam Shamsi ketika menawarkan
orang-orang Yahudi, dalam hal ini di Perkumpulan Salam Shalom
Sisterhood. Imam Shamsi menawarkan untuk bertemu dengan orang-orang
Muslim. Namun menurut orang-orang Yahudi ini, Islam telah dianggap
sebagai teroris. Mereka berkeyakinan bahwa ajaran Islam, lewat
pesantren, merupakan suatu upaya untuk membunuh orang-orang Yahudi.
“Orang-orang Yahudi bahkan menganggap pesantren sebagai ‘ground zero
of the terorist’. Inikan salah besar. Ini yang harus kita luruskan.
Islamophobia menjadi sesuatu yang sudah tidak masuk akal karena banyak
berita yang menyudutkan Islam sehingga muncul istilah Islam adalah
teroris. Oleh karena itu, jangan bangun komitmen hanya karena data yang
terbatas,” ungkap Imam Shamsi.
Berkaca dari pengalaman tersebut, Imam Shamsi bersama Rabi Marc
berupaya untuk menjembatani pemikiran tentang hal yang belum tentu benar
seputar agama orang lain. Diskusi dan telah lebih dalam membuat pola
pikir tentang hal buruk terkait agama orang lain bisa lebih direduksi.
Rabi Marc selama ini juga terus berupaya untuk membangun dialog, baik
antar Yahudi maupun dengan Muslim. Kerja-kerja penyadaran untuk
mengubah cara pandang dilakukan oleh sang Rabi melalui banyak forum
diskusi.
“Kita melakukan tak hanya dialog, tapi sudah di atas dialog. Kita
bersatu melawan ketakutan anti-Islam dan anti-Yahudi,” ujar Rabi Marc.
Lebih jauh Rabi Marc mengungkapkan cita-citanya bahwa kerja yang
dilakukannya bisa menuai hasil ketika umat Muslim mau membela Yahudi,
demikian pula sebaliknya. Jika kedua umat ini telah sampaii di titik
tersebut, maka kerja dua tokoh agama ini dinilai telah berhasil.
“Ini tak sekadar dialog, tapi komitmen bersama bagaimana seorang
Muslim membela kaum Yahudi, dalam arti luas, demikian pula sebaliknya.
Pembelaan itu terkait dengan ketidaksesuaian dan tentang ketidakbenaran
yang selama ini banyak didoktrinkan oleh orang-orang di komunitasnya,”
ungkap Rabi Marc.
Diskusi “Mencari Titik Temu Yahudi-Islam” ini sebenarnya merupakan
forum dialog untuk mengupas buku karangan Rabi Marc Schneier bersama
dengan Imam Shamsi Ali. Buku yang memiliki judul asli “Sons of Abraham: A
Candid Conversation About Issues That Divide and Unite Jews and
Muslims” ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul
“Anak-Anak Ibrahim: Dialog Terbuka Mengenai Isu-isu yang Memisahkan dan
Menyatukan Muslim-Yahudi”.
Buku tersebut memuat banyak pendapat, isu, diskusi, dan debat seputar
agama Islam dan Yahudi. Diskusi serupa tak hanya digelar di Yogyakarta,
melainkan juga dihelat di kota-kota lain, seperti Jakarta dan Bali.
Penulis : Tunggul Tauladan
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Sumber : Satu Harapan
No comments:
Post a Comment